Friday, August 15, 2008

OH...

Hentilah menghina atau menyindirku,
karena kau tak mengerti lelahnya diri ini dan betapa letihnya fikir ini


Ku ingin menjamah kubangan yang tiada tepinya
Atau ku coba berlari membawa keletihan diri ini beserta tangis..., tangis..., tangis...


Oh tubuhku...,
hentilah mengeluh atau meng-aduh di jiwaku,
Karena pagi belumlah jua tiba
Oh fikirku...,
Hentilah mengarut kata-kata menepi
Karena pagi belumlah jua tiba
Mungkin senja tak kan juga ada...,
Lalu tanyaku tentang purnama akan kemana, Tuhanku...?
Dikala mata-Mu menatap luka..., luka..., luka...
Dikala hati-Mu mengawal pedih..., perih..., pedih..., perih...
Dikala tubuh muda ini merasa renta..., renta..., renta...


Lindungi aku dalam diamku
Atau teriaki aku saat termanguku
Menekur...,
Berfikir...,
Menekur...,
Berfikir...,
Do'a..., dosa...,
Do'a..., dosa...


Oh..., Tuhanku...


Jakarta, 10 Juli 2005
muhammad sahid muslim

Thursday, August 14, 2008

(untitled)

Ku damba sapaan manis nan anggun
dari goresan senyuman bidadariku.

Kurindu sentuhan nan sejuk,
yang menyentuh gersang di hatiku

Bilakah semua dapat ku hampiri, atau
hanya rekaan di mimpiku saja?.

Andai cintaku berlabuh,
kuserahkan hidupku hanya untuk mencintainya...


(sahid)

FURQ BEAUTIFUL

Dapatkah kamu menyaksikan kembali bunga-bunga yang tumbuh dengan cantiknya di sekitar matahari dan menjadi dirimu yang serupa dengan padanan kata-kata yang terangkai dengan indah bagai sebuah puisi?. Dan bila keindahan puisi hanyalah jelmaan hati yang mungkin berarti mimpi yang jauh mengikat bumi dalam kesemestaan ruang dan waktu, tentu bukanlah jebakan yang manja bila menyamai nada seruling di waktu pagi dan petang, di saat matahari merindukan bunga-bunga yang cantik. Namun, hanya karena mengingat petang, maka tak berarti nafas terhenti di saat itu pula atau menghilang di dalam kepekatan yang tak berarti senyap. Namun, perlu memaafkan segala yang kembali kepada keindahan.

Ku ingin mengambil sebuah keindahan pada pita-pita pelangi dan menemukan diri wanita bercermin pada kecemasan hujan, dalam memikirkan surat dalam badai atau menjadikan ombak sebuah karangan seni yang mengalir dan membentuk kerajaan pasir yang menuliskan kata-kata cinta yang tak lagi pudar dalam iringan putaran bumi dan matahari pada edarnya menjumpai detik-detik yang terkumpul di zaman waktu dalam keserasian satuan qodha' di atas kesetimbangan qadar.

Dapatkah lagi bejana yang menadah air hujan dan mengumpulkannya kembali ke awalnya sebagi gemulung awan yang bertumpuk-tumpuk dan menjadi payung raksasa yang menidurkan gersang sebagai lenguhan musim saat panen raya?.

Tentunya, keindahan telah semestinya berarti segala-gala yang berarti dalam sejagat rimba kata, maka puisi pun tak seindah seni furqan genggaman Sang Raja Arasy.



Muhammad Sahid Muslim
Jakarta, 27 April 2006
pkl. 09:19 wib

(untitled)

Aku mengenang dia di hari ini. Karena itu, rasanya tepat jika aku mengabadikan karyanya di blog ini, yang dia buat untukku. Satu yang tertinggal dari banyak hal yang indah tentangnya. ijinkan aku menuliskannya di sini...


Aku telah menyusuri taman yang sunyi bersama bayangmu
Hidup dalam sepi dan kerinduan
Menggantungkan angan cinta di sudut malam dingin
Membentang jarak, membunuh asa


Menenggelamkan semua pesonamu,
Agar aku dapat menghilangkan sesuatu yang berpijar di ruang mata kelammu
Agar gemuruh dalam dada sirna bersama keheningan malam
Anehnya...,
Keinginan untuk memilikimu sedemikian menjadi


Aku telah melantunkan kesedihan jiwa
Meruntuhkan tembok kasihmu yang mulai tumbuh di puri hatiku
Menghilangkan keinginan untuk menerima hembusan ketulusanmu ke paru-paru cintaku
Menepis bias kasihmu di tiap kali ku memandangmu
Namun sekarang aku tahu,
Rasanya...,
Aku mulai menyayangimu....




-INTAN.P-
makassar, September 1999


... ... Intan,dimanakah kau kini? ... ...

ADAM

ADAM


Apa yang kamu dapati dari tangisan?. Tanyakanlah dari hatimu yang riak. Di saat bulan berada jauh di atas kepala kita, tapi kenapa tak bertanya?. Adakah kamu merasa senang jika mendung telah datang?. Sangat wajar jika kamu senang, karena kamu berduka..., dan dukamu ditemani mendung yang menghantar. Tapi tatkala usai, dan bulan berada diantaramu, kamu tak bertanya...

Ada apa lagi dengan tangisanmu?. Maka sangat patut kamu mengikuti kemana sungai mengalir membawa kisah-kisah makam dan sampah-sampah hati.

Dahaga ini yang terasa, ingin dicampakkan dan tak ingin lepas. Aku ingin ditammatkan dengan ini, dan dihidupkan kembali di tengah anak-anak domba yang disemayamkan pada kekeringan jerami yang membakar otak mudaku. Aku ingin mengadu pada Sang Nasib. Menanyakan kisah asal-usul segala penciptaan dan penentuan. Di tempat dimana aku awal ada dan tiada. Tuk ku serahkan tanya ini tentang nirwana-Mu yang tak kugapai. Namun Tuhan tak memurkai dosa kami, dalam ucapannya, " Dan bila kau hendak ke bumi, sampaikanlah tiada dunia lebih fana dari hatimu yang pedih. Yang kan dipersembahkan di ujung pedang gurun-gurun muda yang kilaunya memancarkan darah pengorbanan seekor elang, yang gemanya tak lagi ditemui di penghujung harimu. Ketika kaki-kaki letihmu menapak anak-anak tangga di sela-sela sayap-sayap malaikat yang kau rangkul. Berucaplah, inikah dunia untukku?, tempat kau tiada mengenal-Ku. Tempat kau ingkari janji di rahim dunia yang bertutur pada ruh-Ku. Tempat kau tiada mendapati rimbun pepohonan kala kau mau memohon. Tempat dimana kau bangun istana jahiliah bagi Tuhan-Tuhan manusiamu".

Di hari ini tiada lagi tangisan, karena mata ini telah dibutakan. Di hari ini tiada lagi penyesalan, karena hati ini tak tahu benar atau salah dan jauh dari wahyu-Mu. di hari ini tiada lagi dustaku, karena lisanku tak ingin bertutur hingga tiada lagi bijak yang tertutupi. Biarlah mengalir mengikuti larik-larik pelangi zaman. Biarlah menjadi indah bagai taman surgawiku.

Wahai wanita pendampingku, tampaknya surga tak berkenan lagi karena dosa yang kita gali dari buah pengkhianatanku diciptakan. Mari besertaku mengunjungi dunia yang tiada jauh dari sini, karena ku telah malu kepada-Nya. Meski peristiwa ini abadi, ukirlah dunia kita di atas asma-Nya dan keagungan-Nya. Tempat dimana bahagia selamanya ada bila kita usahakan. Amin...



Jakarta, 05 April 2005 M / 26 Safar 1426 H

BARA API PAGI

Terkadang tanpa kita ketahui janji kita pernah melukai hati seseorang. Inilah gambaran kekesalan seorang manusia akan janji-janji kosong yang tak tak tertunaikan dan yang terlupakan, yang saya coba gambarkan ke dalam puisi berikut.



BARA API PAGI


Di sela terusik lelap
Elakkan lisan torehkan sumbang-sumbang kepalsuan serta kesengajaan
Datang...,
Kegerhanaan menjadi pikuk yang menajamkan kesal
Ku mengupah janjimu dalam tertawamu
Dan beranjak ketika lelap yang kau nilai dengan judi atau cuma-cuma


Persamaan bunyi itu,
Itulah birama yang jauhkan gerhana
Padanan dirupa, perulangan ditegaskan.
Jemu...


Kemasi dalam meragu dan dalam kepahaman menoda ejekan laku
Pilar bahagia dijajakan semu. Tiada kesejatian, yang itu titik nisbi alibimu
Genderang pagi ini. Panjiku mengawali arakan ke gerbang subuh
Kuharapkan nilai dan ku bukakan mata.



Jakarta, 22 Nopember 2006 M
pkl. 03:56

Muhammad Sahid Muslim

" -Nya "


puisi-prosa berikut berkisah tentang kesempurnaan sang Maha Pencipta


" -Nya "


Setiap yang terangkum, telah menjadi nafas yang terhembus. Adalah sejarah yang ketika tertulis, memutar roda-roda yang hidup kepada yang mati, yang lahir kepada yang kembali. kisaran dalam fikir manusia hanya makna yang diam dari langit hingga ke bumi. Kuasa-Nya luas pada rahasia hati lagi penjagaan-Nya yang tiada terlupa.


Inilah kesempurnaan, dan segalanya adalah jua milik-Nya.


Setiap yang terserak, telah menjadi nadi yang berdetak. adalah sebuah untaian kata, yang ketika terucap, seperti sebuah perahu kertas di atas permukaan anak-anak sungai dan membawanya kepada perjalanan hidup yang bercerita dan menjadi sejarah yang berserakan. Adalah Dia yang mengumpulkan dari keberserakannya itu dan menyatukannya ke dalam kitab keabadian hidup, sementara hidup terus berdetak dan terserak.


ini adalah kesempurnaan, dan segalanya adalah jua milik-Nya.


Setiap yang tertutupi, telah menjadi rahasia yang tak terungkap. Adalah kebenaran telah menjadi ruang yang bercahaya dan bergema di sendi-sendi hidup, seperti nyanyian yang tak bersuara dan musik yang diam. Adapun hal yang tersembunyi adalah kebenaran yang masih diam dan belum berbicara. Dia-lah yang Maha Mengetahui.


Inilah kesempurnaan, dan segalanya adalah jua milik-Nya.





M. Sahid. M
JAkarta, 10 April 2006 M / 12 Rabiul awal 1427 H (Maulid Nabi Muhammad saw)

KEMBALI, SOMBA OPU !

Puisi akan besarnya gairah cinta kepada kampung halamanku, kutuang disini. Bercerita tentang semangat yang besar dalam diri ini yang selalu rindu kepada bumi tempat di mana ku dilahirkan dan tempat dimana mengawali kehidupanku.
n/b: kata yang tercetak tebal di bawah ini adalah kata yang ada kaitannya dengan asal daerahku



KEMBALI, SOMBA OPU !


Punna nia' se're ati kumantangi,
ikau tonji kalenna
Punna nia' se're baine kungai,
ikau tonji ku ero'



Gowa memanggilku,
Dalam bahasa badai atau dihembusnya Anging Mammiri
Tuk susuri jalan-jalan matahari di titiannya kembali di bibir Losari
Malam semakin berbeda
Walau kini Karebosi, alun telah lengang
Diri yang menjelma raja
Dengan tekad Badik di hati
Raja pun teriak, raja pun teriak berseru...,
" Akulah Somba Opu muda..., Akulah Sandeq-sandeq atau pinisi-pinisi di kadalaman Tanjung Bira...,
Kembalikan diri ini...,
Kembalikan, kembalikan aku di Balla' Lompoa.... "

Makassarku, tunggu aku...




Jakarta, 14 januari 2006
pkl. 08:56 wib

Tuk : Jiwa Yang Mengembara (Jilid 3)

Ada hak yang perlu dipenuhi
Manusia dapat terjatuh dan juga menjadi pelupa
Mimpi tentu bukanlah dagangan

Aku berada di laut, dan menjadi karangnya
Aku berada di darat, dan menjadi gunungnya
Aku berada di udara, dan menjadi langitnya

Meski aku bukan siapa-siapa,
dan tak memiliki apa-apa




-M.SAHID.M-
01 januari 2007 M / 11 Dzulhijjah 1427 H
jakart, pkl. 05:51 wib

Tuk : Jiwa Yang Mengembara (Jilid 2)

Secepat malam melarikanku
Tiada kehangatan dalam diri yang bergelora menuju ke tammatan

Sepintas langit menitip azimat
Hanya kehancuran di pelupuk tertoreh
Tertampar diri pada mimipi-mimpi di malam gagu

Di alas ini, bumi membenci kefanaan
Manusia tiada akar, hanya lemah dan jatuh binasa...

Ketiadaan dan kemalangan damai
Asa yang hilang dan khawatir yang membuncah
Tetap melarikanku ke arah ke tammatan

Di alas ini, bumi membenci kefanaan
Manusia tiada akar, hanya lemah dan jatuh binasa...

Tammatlah..., dan binasalah....




Created by: Sahid
on Batavia September 09, 2005
pkl 01:41 wib

Sunday, August 3, 2008

Tuk: Jiwa Yang Mengembara (Jilid 1)

Inilah puisi yang terinspirasi dari pengalaman pribadiku sendiri.Lahirnya puisi ini berawal dari berpisahnya jalinan kasih dengan gadis impianku.Puisi inilah yang mewakili perasaanku ketika itu, yang tak ingin mengenal dunia lagi.


Tuk: Jiwa Yang Mengembara (Jilid 1)


Ku tak ngerti hati ini dan ku tak paham rasa ini
Menerawang dan entah kemana menghantar jiwa ini
Akhiri ini ketakutanku...,
Sukmaku terlepas dari ragaku yang sadar
Kudekati, dan dia pun menjauh
Kudekap, dan dia pun tak terdekap
Ataukah...,
Ku masih menghembus nafas-nafas hampa di tebaran udara bumi yang kaya

Ku tak ingin membatasi ruang yang tak ingin dibatasi
Biarlah jiwaku pergi dan relaku terpasung menyepi
Ataukah...,
Ku masih menghirup udara-udara pekat di pelataran bumi yang sempit dan membuatku sesak !!!

Sendiri..., dan menyepi...,


-sahid-

BATAS

"Batas" ini adalah wujud kekagumanku akan semesta.Serasa diri ini memang kecil dan terbatas kemampuannya di hadapan Sang Maha Pencipta.


BATAS

Ku menahan kantuk,
Dan biarkan jasad ini meregang letih
Fikirku tiada lagi di sini...,
Merantau hingga ke bintang-bintang dan bulan yang kian merenta

Di musim mana,bulan tiada lagi purnama?
Di malam mana, bintang tak lagi menunjukkan arah ke mana?
Berada diantara gemulung awan dan desir-desir di gurat cakrawala nan biru dan di pucat kelam pasinya
Adakah yang belajar dan memaknainya kemana malaikat menyampaikan pesan hingga tiada dunia yang berbatas?
Dan bila ada kata yang terpenggal, siapa menuturkannya berlanjut dan melengkaplah nasihat sempurna itu paripurna?
Atau adakah yang beserta edarnya matahari dan bulan pada tatanan galaksi Sang Maha?

Mimpikah aku...?
Atau sebodoh inikah fikirku...?

Ah..., tidur saja...


-M.SAHID MUSLIM-
created on Batavia, 08th 2006
pkl. 00:01

Monday, July 7, 2008

Meng-Apa

Puisi yang bertajuk, "Meng-Apa" ini dibuat dengan gaya bahasa yang unik. Tema ini berkaitan dengan diputusnya tali kasih hingga diciptanyalah puisi berikut ini.



Meng-Apa


Jangan kau bertanya, mengapa
Hati ini telah tiada

Jangan kau hirau, mengapa
Ragu ini yang ada

Jangan kau mencari, mengapa
Jawab-jawab yang menyepi
Atau sepi-sepi yang menjawab

Jangan kau memakai yang apa
Lakumu jawabnya jelas

Jangan kau melirik, apa
Matamulah yang binal, mengapa?

Jangan kau tekun dengan apa-apa
Dan apa-apa yang ada di hati
Atau hati dengan apa-apa

Mengapa... ???
Apa... ???



Created by: SAHID
on Jakarta, January 13rd, 2006

Saturday, July 5, 2008

LELAKI DI DALAM CERMIN

Kali ini sebuah karya prosa-puisi tentang seorang lelaki yg dalam usianya yang beranjak dewasa, memulai pencarian jati dirinya. Namun dalam pencariannya itu, justru dia mengalami krisis kepercayaan pada dirinya sendiri. Selamat membaca rekan-rekan sekalian.


LELAKI DI DALAM CERMIN
(sebuah karya tulis prosa singkat)


Betapa ku ingin ke ladang dan tumbuh bersama pepohonan dan menjadi akar penopang berdiri tegaknya pohon itu. Dan bila tak demikian, biar ku terasing dalam kesendirianku di sudut kamar yang tak bercermin. Telah ku cari, namun hingga kini tak ku temui. Sebuah nafas kecil dari diriku yang pergi meninggalkanku, yang biasanya tiap saat ku temuinya dan berbincang dengannya di depan cermin. Dialah diriku, lelaki di dalam cermin, sobekan jiwa ketegaranku. Tanpanya ku merapuh dan terasing dalam kelemahan.

Diriku telah meninggalkan jiwaku, karena dia tiada mengenal "aku" nya lagi. Kini apa yang aku bisa?. Matahariku semakin memanggang ketidak berdayaanku di tengah gurun yang tak beroase di samping jasad-jasad unta yang tinggal belulang keputus asaan dan teronggok mengering. Ku sadari tak ada yang menjadi pemangsa, hanya saja tiada yang menjadi penopang untuk tetap tegak bertahan dan tak merapuh.

Wahai engkau manusia di dalam cermin, dimanakah dirimu kini?. Jangan kau tinggalkan aku dengan pena-pena tak bersuara dan tak bernyawa....

Bila diri terus didera seperti ini, ada baiknya aku menjadi penggali liang kubur. Pembuat kediaman terakhir bagi manusia yang telah mati dan lagi tak bersuara. Dari pada harus menjadi perawat orang bisu, hidup, namun tak bersuara !. Dan adalah lebih baik mencari angin,tak berbentuk, namun selalu menyegarkan. Dari pada mencari api besar, berbentuk, namun turut membakar dan memusnahkan !.

Diri ini telah sendiri, pun jua ditinggalkan....

Manusia di dalam cermin, ku mohon engkau kembali menyatu ke dalam raga, yang serupa dengan ragaku. Ke dalam kata, yang serupa dengan kataku. Ke dalam tenang, yang serupa dengan tenangku. Di sini ku menantimu, memberiku cintamu dan kasihmu, yang serupa denganku ....


-TAMAT-

karya: muhammad sahid muslim
dibuat di jakarta, 8 maret 2006 M (pkl. 13:05 wib)


rekan-rekan sekalian, tolong berikanlah komentar. Thanks.

PILIHAN SENJA

Originalku yang berikut masih bertemakan cinta. Cinta dan penantian.


PILIHAN SENJA

Kini senja bertanya-bertanya,
dirinya ada dimana?
Dia yang setia kupendari cahaya tenteram di teduh ombak pantai kala dirinya termenung dan berharap
Saat ini, hanya akulah pilihan senja...!

Padamu senja,
Katakan bahwa cahayamu untukku
Dan ku kan berdiri menanti hadirmu disaat surya berbentuk separuh dan cahaya keenggananmu tuk meredup di tepian bumi
Katakanlah, akulah pilihan senja...!

Hanya padamu senja,
Meninggikan harap bersama siluet yang tertinggal di benak wanita dan sebongkah karang di laut lepas
Yang disampaikan camar senja, sepeninggalmu kemarin disini,
di pulau khayal dan di hati wanita
Ku nanti hadirmu senjaku, dijelang maghrib dan tiang-tiang masjid
Tempat kali pertama ku memandangmu termenung di atas pasir putih
Memandang dan menantang tatapan senja ke arah pulau khayalku
Masih ingatkah kamu,senjaku...?

Jangan katakan, kamu telah melupakanku !
Karena ku menanti
Dan jangan berlari tanpa menoleh padaku
Karena hatiku untukmu, senjaku
Aku tak lupa ungkapmu dan penantianku
Bahwa, aku pilihan senja...!

Di sini, dijelang maghrib dan di tiang-tiang masjid,
Cintaku...,ku nanti...


Original by: M.Sahid
dibuat di Jakarta, 28 September 2005

Friday, July 4, 2008

AIR MATA KEABADIAN (Sastra originalitas bertemakan cinta & kepahlawanan)

Berikut persembahanku,sebuah prosa puisi yang dalam kesederhanaannya ini ku dedikasikan untuk semua pecinta seni,khususnya untuk Sang Maha Seni,Allah swt.


AIR MATA KEABADIAN
(sebuah scene novelet singkat)

Malam ini,bulan hanya separuh di langit jutaan bintang. Dalam terdiam ditatapan yang tengadah nan tak berbinar. Hanya segenggam pasir di tangan sebagai pengganti mimpi-mimpi yang tertunda di tiap malam yang tak memandu, dan hanya coretan sebagai pengganti luka ksatria yang terhunus.

Jauh setelah Isya berpaling pergi di relung waktu dan di renung yang kembara menuntun sebuah pilu, yang pedangnya masih tertancap penuh darah dari sang ksatria. Sebuah hymne kekhusyu'kan menjalari serta merasuk ke dalam gambaran kobar panji perjuangan dan lengkingan kuda-kuda sang pahlawan, berlomba di deru api perjuangan dengan pedang sebagai perisai penghantar nyawa. Di bukit itu, semilir angin menyita perhatian hati untuk menilik dan larut ke dalam lumeran darah dan air mata. Kepada air mata yang jatuh menekan batin yang berpuasa, dan kepada tetesan darah di simbahan ibu pertiwi, salam dari anak-anak negeri yang memanja di bawah payungan mentari dan rembulan, di fajar yang mengufuk dan di maghrib yang menyimpan segala lelah dan cerita-cerita zaman.

"Dinda..., dindaku, mendekatlah kepadaku dan hapuslah deritamu, karena ku hanya ingin melihat senyum kemenanganmu melipur dan menguak keperkasaanmu tanpa topeng-topeng, dan menolak segala bentuk kelaliman serta memihak kepada cinta dan kasih di keabadian. Mendekatlah..., lebih dekat kepadaku sayang..., agar ku dapat menatapmu menahan rembulan yang ingin beranjak berlalu menanti fajar dan menggubah hari menjadi aku di hatimu."

Sang gadis yang sesaat tadi berdiri mematung sambil menenun hati teriris dalam ringisan & rintihan duka yang mendalam, mencoba membangun keruntuhan hatinya kembali, sepertinya akan menyobek kemudian berlari menghambur memeluk ksatrianya dalam kesakitan yang memilu, sungguh memilu. Hanya air mata berderai mengiringi tiap ucapannya: "Wahai kekasihku...,pahlawan hatiku. Bila luka itu yang akan merebut dirimu dari sisiku, maka tak kan pernah ku izinkan para malaikat merangkulmu dalam sayap-sayap sucinya dan membawamu mengawan ke tiang-tiang langit yang tak dapat ku jangkau, kecuali dengan hatiku, do'aku dan air mataku, meski pun aku ada diantara kelemahanku dan ketidak berdayaanku atas kehendak-Nya. Sayangku..., pandanglah di mataku dan janganlah pernah lepas dari memandangnya, karena ada nyala api cinta yang penuh gelora di ruangnya, yang tetap hidup dan bernafaskan cinta. Ambillah..., karena kau adalah kata yang berjiwa dari benteng kearifanku. Pahlawanku..., masuklah ke dalam relungku, meski kau hanya membisu dan tak dapat berbuat apa pun. Dan jangan pernah lepas genggaman tanganku ini karena ku ingin ikut bersamamu,sayang...."

Kemudian laki-laki itu menampakkan senyum yang seulas,sedang pandangan matanya dan genggaman tetap berpaut dengan pandangan dan genggaman kekasihnya. Dan dengan bibir yang bergetar menahan sakit, dia berkata: "Wahai kekasihku, engkau jangan takut. Aku telah kembali padamu setelah perang dahsyat merebut kekerasan dari kemanusiaan yang rendah. Percayalah..., ku akan kembali lagi, tapi tidak dalam jubah perangku yang tersiram darah dan ajal, jua tidak dengan pedangku yang meminta nyawa dari ketakutan yang tak menjelma. Ku akan menemuimu dalam pakaian ihramku di taman-taman surga dan merangkulmu ke dalam keabadian yang tak pernah pupus tentang kemenangan yang menyingkirkan bara perang dengan cinta. Wahai engkau kekasihku, ku tinggalkan kataku untukmu, maka kini kau yang menjadi lisanku. Ku tinggalkan juga nafasku untukmu, maka kini kau yang bernafas untukku dan menjadi ruhku. Dan ku tinggalkan hatiku untukmu, maka kini kuhangat dalam pelukan cintamu untukku. Jadilah aku untukku selalu, sayangku... Aku milikmu...."

Setelah itu, tampak laki-laki muda itu tak kuasa lagi berkata-kata, setelah darah dan air mata bertemu menjadi danau kepedihan, yang menjadi ungkapan kata terakhir dan harapan. Lalu malaikat pun membawa ruh ksatria itu ke dalam sayap-sayapnya serta menerbangkan khayalan sang gadis menuju ruang sedih yang tak berujung. Dalam senandung tangisannya, dipeluknya dengan penuh lembut jasad kekasihnya itu dan mencium keningnya dengan bibir yang bergetar dalam isak tangis yang sungguh pedih, serta menutup matanya dengan perlahan. Ada getaran asing yang menggayut dan menghunjam di dada sang gadis, sementara di hatinya khusyuk memohon do'a.

Lalu dengan perlahan namun pasti, dicabutnyalah pedang yang masih terhunus tersebut di dada kekasihnya itu, pedang yang telah memisahkan alam mereka pada satu cinta yang mereka rajut dengan benang-benang suci ketulusan hati. Dalam isak tangis yang masih mendalam, diangkatnyalah tinggi-tinggi pedang itu, kemudian dihunuskannya ke dirinya sendiri kemudian sesaat menjatuhkan tubuhnya di sisi ksatrianya, laki-laki yang dicintainya. Maka lelap pun mengantar jiwa-jiwa mereka ke pangkuan-Nya dan ke mahligai-Nya. Sementara angin semakin kencang dan membawa kisah mereka ke keabadian, keabadian cinta...

-TAMAT-
original by: M.Sahid
di Jakarta, 12 Maret 2006 M
komentar, saran ataupun kritik via e-mail: sahid_bule@yahoo.com